Sabtu, 12 Mei 2012

Camels Dalam Perbankan


Camels Dalam Perbankan

            Pengertian Camels
Dalam kamus Perbankan (Institut Bankir Indonesia), edisi kedua tahun 1999: CAMEL adalah aspek yang paling banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank, yang mempengaruhi pula tingkat kesehatan bank, CAMEL merupakan tolok yang menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh pengawas bank. CAMEL terdiri atas lima criteria yaitu modal, aktiva, manajemen, pendapatan dan likuiditas.
Berdasarkan kamus Perbankan (Institut Bankir Indonesia), edisi kedua tahun 1999, peringkat CAMEL dibawah 81memperlihatkan kondisi keuangan yang lemah yang ditunjukan oleh neraca bank, seperti rasio kredit tak lancar terhadap total aktiva yang meningkat, apabila hal tersebut tidak diatasi akan mengganggu kelangsungan usaha bank, bank yang terdaftar pada pengawasan dianggap sebagai bank bermasalah dan diperiksa lebih sering oleh pengawas bank jika dibandingkan dengan bank yang tidak bermasalah. Bank dengan peringkat CAMEL diatas 81 adalah bank dengan pendapatan yang kuat dan aktiva tak lancer sedikit, peringkat CAMEL tidak pernah diinformasikan secara luas.

           Reinkarnasi Camels
Penyempurnaan penilaian kesehatan bank dilatarbelakangi oleh Perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan pengawasan secara konsolidasi, serta perubahan pendekatan penilaian kondisi Bank yang diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Secara substantif memang ada beberapa perubahan faktor-faktor penilaian, namun dari sisi prinsip dan proses perhitungan tingkat kesehatan, PBI nomor 13/1/PBI/2011 tersebut tidak jauh berbeda dengan PBI Nomor 6/10/PBI/2004 . Mari kita lihat sekilas perbandingan antara keduanya. Pertama,  penilaian tetap bersifat self-assessment oleh masing-masing bank yang dilakukan setiap semester, namun pihak BI akan melakukan pemeriksaan sebagai langkah validasi atau konfirmasi terhadap penilaian yang dilakukan oleh pihak bank.
Apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil self assesment oleh pihak bank maka yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasil self-assessment tersebut wajib diketahui oleh Direksi dan dilaporkan kepada Dewan Komisaris dan BI. BI secara eksplisit tidak mewajibkan hasil akhir penilaian kesehatan bank tersebut dipublikasikan secara detail kepada masyarakat. Masyarakat hanya bisa melihat posisi keuangan bank secara umum dan beberapa rasio keuangan saja, misalnya Capital Adequacy Ratio, Efisiensi Biaya,  dan Kualitas Aktiva Produktif.  Jadi jangan harap hasil penilaian lengkap untuk setiap faktor dan komponen terungkap ke publik. Kedua,  skala atau predikat penilaian masih sama dengan sebelumnya yaitu “Peringkat 1″  sampai “Peringkat 5″ dimana urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik.
Sedangkan hasil akhir penilaiannya disebut Peringkat Komposit yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Misalnya, Peringkat 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, sedangkan Peringkat 5 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. Pada penilaian sebelumnya berdasarkan PBI Nomor 6/10/PBI/2004, BI telah menyediakan kerangka kerja atau lembar kerja yang menjelaskan bagaimana menghitung dan menilai setiap indikator. Panduan tersebut disajikan dalam bentuk matriks. Untuk PBI tahun 2011 ini, panduan dalam acuan matriks tersebut belum disediakan oleh Bank Indonesia.
Ketiga, versi 2011 hanya pengelompokan dan pembobotan ulang terhadap faktor atau dimensi penilaian-yang dari segi cakupan relative tidak banyak berubah. PBI yang baru menggolongkan faktor penilaian menjadi hanya empat faktor yaitu (1) Profil resiko atau risk profile, (2) Good Corporate Governance (GCG), (3) Rentabilitas atau Earnings, dan (4) Permodalan atau Capital. Jadi PBI yang baru ini bisa disingkat- sekedar untuk memudahkan ingatan saja, menjadi RGEC . Profil resiko mencakup 8 jenis resiko yaitu (a) risiko kredit, (b) risiko pasar, (c) risiko likuiditas, (d) risiko operasional, (e) risiko hukum, (f) risiko stratejik, (g) risiko kepatuhan, dan (h) risiko reputasi. Jadi kayaknya, beberapa indikator pada CAMELS sebelumnya, ditataulang dan dimasukkan ke faktor baru pada RGEC. Jika dipetakan secara lengkap, faktor kualitas asset (A), likuiditas (L), dan sensitivitas terhadap resiko pasar (S) pada pada Sistem CAMELS melebur ke dalam faktor profil resiko (R) pada Sistem RGEC, sedangkan faktor rentabilitas (E) dan permodalan (C) tetap ada pada sistem yang baru. Seolah-olah ada faktor baru yaitu Good Corporate Governance (G) yang menggantikan faktor Manajemen (M) pada sistem lama. Namun jika dicermati, kepatuhan terhadap penerapan GCG sudah masuk pada faktor Manajemen (M) pada sistem CAMELS yaitu dimasukkan pada komponen manajemen umum.
Dua komponen lainnya untuk faktor Manajemen pada sistem CAMELS- yaitu Penerapan Sistem Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank, sebagian besar indikatornya diperkirakan masuk ke profil resiko pada sistem RGEC. Akhirnya tinggal GCG yang tersisa dalam faktor Manajemen. Jadilah GCG sebagai faktor tersendiri dalam sistem yang baru. Faktor GCG pada sistem baru pasti akan diperkaya terlebih dahulu oleh BI dengan beberapa model, prinsip atau praktek yang terbaru sesuai dengan perubahan atau perkembangan kondisi dan situasi terkini. Sebenarnya BI sudah mengeluarkan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah menjadi PBI Nomor 8/14/PBI/2006, dengan teknis pelaksanaannya tercantum pada SE Nomor 9/12/DPNP.

            Analisis Camels
Analisis CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan bank umum di Indonesia. CAMELS merupakan kepanjangan dari Capital (C), Asset Quality (A), Management (M), Earning (E), Liability atau Liquidity (L), dan Sensitivity to Market Risk (S).
Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari:

a.      Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan dilakukan melalui penilaian terhadap kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku. Melalui rasio ini akan diketahui kemampuan menyanggah aktiva bank terutama kredit yang disalurkan dengan sejumlah modal bank (Abdullah, 2003:60).
Tabel 1. Matriks Kriteria Peringkat Komponen Permodalan
Rasio
Peringkat
CAR ≥ 12%
1
9% ≤ CAR < 12%
2
8% ≤ CAR < 9%
3
6% < CAR < 8%
4
CAR ≤ 6%
5
                   (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)

b.      Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor aset bank dilakukan melalui penilaian terhadap komponen aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif dan tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP).
Rasio Kualitas Aktiva Produktif merupakan rasio yang mengukur kemampuan kualitas aktiva produktif yang dimiliki bank untuk menutup aktiva produktif yang diklasifikasikan berupa kredit yang diberikan oleh bank. Rasio ini mengindikasikan bahwa semakin besar rasio ini menunjukkan semakin menurun kualitas aktiva produktif (Taswan, 2010:167).
Tabel 2 Matriks Kriteria Peringkat Komponen KAP(1)
Rasio
Peringkat
KAP­1­ ≤ 2
1
2 < KAP1 ≤ 3%
2
3% < KAP1 ≤ 6%
3
6 < KAP1 ≤ 9%
4
KAP1 > 9%
5
             (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio pemenuhan PPAP merupakan rasio yang mengukur kepatuhan bank dalam membentuk PPAP untuk meminimalkan risiko akibat adanya aktiva produktif yang berpotensi menimbulkan kerugian (Taswan, 2010:167).
Tabel 3 Matriks Kriteria Peringkat Komponen KAP(2)
Rasio
Peringkat
KAP ≥ 110%
1
105% ≤ KAP2 < 110%
2
100% ≤ KAP2 < 105%
3
95% ≤ KAP2 < 100%
4
KAP2 < 95%
5
             (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)

c.       Manajemen (Management)
Penelitian Merkusiwati (2007) menggambarkan tingkat kesehatan bank dari aspek manajemen dengan rasio Net Profit Margin (NPM), alasannya karena seluruh kegiatan manajemen suatu bank yang mencakup manajemen umum, manajemen risiko, dan kepatuhan bank pada akhirnya akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba. Net Profit Margin dihitung dengan membagi Net Income atau laba bersih dengan Operating Income atau laba usaha.
Tabel 4 Matriks Kriteria Peringkat Komponen NPM
Rasio
Peringkat
NPM ≥ 100%
1
81% ≤ NPM < 100%
2
66% ≤ NPM < 81%
3
51% ≤ NPM < 66%
4
NPM < 51%
5
            (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)

d.      Profitabilitas (Earnings)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor profitabilitas bank antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), Net Interest Margin (NIM) atau Net Operating Margin (NOM), dan Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO).
ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dari total aktiva yang dimiliki (Dendawijaya, 2009:118).
Tabel 5 Matriks Kriteria Peringkat Komponen ROA
Rasio
Peringkat
ROA > 1,5%
1
1,25% < ROA ≤ 1,5%
2
0,5% < ROA ≤ 1,25%
3
0 < ROA ≤ 0,5%
4
ROA ≤ 0%
5
                (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
ROE mengindikasikan kemampuan bank dalam menghasilkan laba dengan menggunakan ekuitasnya. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan dan selanjutnya kenaikan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga saham bank (Dendawijaya, 2009:119)


Tabel 6 Matriks Kriteria Peringkat Komponen ROE
Rasio
Peringkat
ROE > 15%
1
12,5% < ROE ≤ 15%
2
5% < ROE ≤ 12,5%
3
0 < ROE ≤ 5%
4
ROE ≤ 0%
5
            (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio NIM mengindikasikan kemampuan bank menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan penempatan aktiva produktif (Taswan, 2009:167). Bank syariah menjalankan kegiatan operasional bank tidak dengan sistem bunga, maka dalam penilaian rasio NIM pada bank syariah menggunakan rasio Net Operating Margin (NOM) yang merupakan pendapatan operasi bersih terhadap rata-rata aktiva produktif.
Tabel 7 Matriks Kriteria Peringkat Komponen NIM/NOM
Rasio
Peringkat
NIM > 3%
1
2% < NIM ≤ 3%
2
1,5% < NIM ≤ 2%
3
1% < NIM ≤ 1,5%
4
NIM ≤ 1%
5
               (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Dendawijaya, 2009:120). Semakin tingga rasio ini menunjukkan semakin tidak efisien biaya operasional bank.
Tabel 8. Matriks Kriteria Peringkat Komponen BOPO
Rasio
Peringkat
BOPO ≤ 94%
1
94% < BOPO ≤ 95%
2
95% < BOPO ≤ 96%
3
96% < BOPO ≤ 97%
4
BOPO > 97%
5
               (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)

e.       Likuiditas (Liquidity)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas bank dilakukan melalui penilaian terhadap komponen Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR menunjukkan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya (Dendawijaya, 2009:116).
Tabel 9. Matriks Kriteria Peringkat Komponen LDR
Rasio
Peringkat
LDR ≤ 75%
1
75% < LDR ≤ 85%
2
85% < LDR ≤ 100%
3
100% < LDR ≤ 120%
4
LDR > 120%
5
               (Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)

f.       Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)
Penilaian rasio sensitivitas terhadap risiko pasar didasarkan pada Interest Rate Risk Ratio (IRRR) yang proksi terhadap risiko pasar. IRRR menunjukkan kemampuan bank dalam mengcover biaya bunga yang harus dikeluarkan dengan pendapatan bunga yang dihasilkan.

            Rasio Camels
Rasio CAMEL adalah menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. dengan analisis rasio dapat diperoleh gambaran baik buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu bank. Manfaat Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan Machfoedz (1994) menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi laba perusahaan dimasa yang akan datang. Rasio keuangan yang digunakan adalah cash flows/current liabilities, net worth and total liabilities/fixed assets, gross profit/sales, operating income/sales, net income/sales, quick assets/inventory, operating income/total liabilities,net worth/sales, current liabilities/net worth, dan net worth/total liabilities. Ditemukan bahwa rasio keuangan yang digunakan dalam model bermanfaat untuk memprediksi laba satu tahun ke muka, namun tidak bermanfaat untuk memprediksi lebih dari satu tahun. Penelitian berkaitan dengan prediksi kebangkrutan bank di Indonesia dilakukan oleh Wilopo (2001). Penyampelan dalam penelitian ini dilakukan secara cluster yaitu 235 bank pada akhir tahun 1996 dibagi menjadi 16 ban terlikuidasi dan 219 bank yang tidak dilikuidasi, selanjutnya diambil 40% sebagai sampel estimasi, terdiri atas 7 bank terlikuidasi dan 87 bank yang tidak dilikuidasi. Kemudian dari 215 bank pada akhir tahun 1997 yang terdiri atas 38 bank terlikuidasi dan 177 bank pada tahun 1999 yang tidak dilikuidasi, diambil 40% sebagai sampel validasi yang terdiri atas 16 bank terlikuidasi dan 70 bank yang tidak dilikuidasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk memprediksikan kebangkrutan bank adalah rasio keuangan model CAMEL (13 rasio), besaran (size) bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy (kredit lancar dan manajemen).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat prediksi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini tinggi (lebih dari 50% sebagai cutoff value-nya). Tetapi jika dilihat dari tipe kesalahan yang terjadi tampak bahwa kekuatan prediksi untuk bank yang dilikuidasi 0% karena dari sampel bank yang dilikuidasi, semuanya diprediksikan tidak dilikuidasi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran (size) bank serta kepatuhan terhadap Bank Indonesia” dapat digunakan untuk memprediksikan kegagalan bank di Indonesia. Simpulan ini diambil didasarkan atas tipe kesalahan yang terjadi, khusus kasus di Indonesia ternyata rasio CAMEL serta variabel-variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian ini belum dapat memprediksikan kegagalan bank. Dengan demikian perlu eksplorasi lebih lanjut terhadap variabel lain di luar rasio keuangan agar diperoleh model yang lebih tepat untuk memprediksikan kegagalan bank.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Swandari (2002) berusaha untuk menganalisa apakah tingginya perilaku risiko dari pemegang saham, kepemilikan institusi dan kinerja mempengaruhi kebangkrutan bank. Sampel penelitian ini terdiri dari bank yang dikategorikan fail dan bank yang sehat yang terdiri atas 25 bank yang dikategorikan fail dan 35 bank yang sehat atau survive. Dalam penelitian ini variabel kinerja diproksikan dengan NITA (laba bersih / total aktiva) dan FUTL (laba operasi / total kewajiban), selain itu dalam penelitian ini juga memasukkan variabel kontrol yaitu size perusahaan dan jumlah modal. Diprediksikan bahwa perilaku risiko berpengaruh positif terhadap kebangkrutan bank, sedangkan porsi kepemilikan institusi dan kinerja berpengaruh negative terhadap kebangkrutan bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1.      Variabel perilaku resiko memiliki tanda sesuai dengan prediksi namun secara statistic tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini ditolak. Hasil ini sejalan dengan teori agency cost of debt yang menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan menyebabkan manajer atau pemilik bank berperilaku lebih beresiko atas beban debtholder atau para deposan. Dengan kata lain, pemilik akan berupaya meningkatkan nilai opsi call dari saham yang mereka miliki.
2.      Variabel proksi kepemilikan institusi juga memiliki tanda sesuai prediksi namun secara statistik tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini ditolak..
3.      Dua variabel kinerja yang digunakan yaitu NITA dan FUTL, keduanya memberikan dukungan terhadap hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2002) berusaha untuk menganalisa:
Apakah terdapat perbedaan bermakna kinerja keuangan yang diukur dari rasio cadangan penghapusan kredit terhadap kredit, ROA, efisiensi dan LDR antar bank kelompok kategori A, B dan C, dan (2) apakah rasio keuangan tersebut mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kemungkinan kebangkrutan bank-bank kategori A, B dan C. Hasil dari penelitian ini adalah empat rasio keuangan yang digunakan ternyata rasio ROA, Efisiensi dan LDR mempunyai perbedaan yang signifikan di antara bank-bank dalam kategori A, B dan C. Adapun rasio Cadangan Penghapusan Kredit terhadap Kredit tidak mempunyai perbedaan bermakna mengingat pengukuran rasio ini untuk menilai kualitas asset dari bank kurang tepat (tidak sesuai dengan pengukuran sebagaimana telah ditentukan oleh Bank Indonesia).

           Analisis Kesehatan Bank : CAMELS vs RGEC
Penggunaan rasio keuangan yang mempunyai perbedaan signifikan dalam model logistic regression untuk menguji prediksi kebangkrutan bank-bank dalam kategori bangkrut adalah akurat yang ditunjukkan dengan tingkat kemaknaan 0,00%. Dari ketiga rasio ROA, Efisiensi dan LDR hanya rasio ROA yang mempunyai pengaruh bermakna terhadap kemungkinan kebangkrutan bank. Etty M. Nasser dan Titik Aryati (2000) menyimpulkan bahwa dengan uji univariate ada dua jenis rasio yang signifikan yang membedakan bank sehat dan bank gagal yaitu rasio EATAR dan OPM. Untuk rasio keuangan yang dominan mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan bank adalah EATAR dan PBTA melalui analisis Stepwise Statistic, dan dengan analisis Casewise Statistic dapat diketahui tingkat keberhasilan keseluruhan dari fungsi diskriminan dan untuk peramalan empat tahun sebelum bangkrut adalah 67,6 %.
Penelitian ini menggunakan bank go public sebagai sampel. Variabel bebas yang digunakan adalah beberapa rasio-rasio keuangan model CAMEL yaitu CAR1, CAR2, ETA, RORA, ALR, NPM, OPM, ROA, ROE, BOPO, PBTA, EATAR, dan LDR. Sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah Financial Distress dengan dua alternatif yaitu bank sehat dan bank gagal. Secara empiris tingkat kegagalan bisnis dan kebangkrutan bank dengan menggunakan rasio-rasio keuangan model CAMEL dapat dibuktikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu : Thomson (1991) dalam Wilopo (2001) yang menguji manfaat rasio keuangan CAMEL dalam memprediksi kegagalan bank di USA pada tahun 1980an dengan menggunakan alat statistik regresi logit, Whalen dan Thomson (1988) dalam Wilopo (2001) menemukan bahwa rasio keuangan CAMEL cukup akurat dalam menyusun rating bank, dan di Indonesia Surifah (1999) menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL.
Dulu kita mengenal dengan adanya Analisis Kesehatan Bank dengan menggunakan sistem penilaian CAMELS (Capital, Asset quality, Management, Earnings, Liquidity & Sensitivity to market risk) berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004. Sekarang, menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, maka sistem penilaian analisis kesehatan bank pun diubah dari CAMELS menjadi RGEC (Risk profile, Good corporate governance, Earnings, & Capital).
Sebenarnya sistem penilaian kesehatan bank antara CAMELS tidak berbeda jauh dengan RGEC. Beberapa bagian tampak masih sama seperti masih digunakannya sistem penilaian Capital dan Earnings. Adapun sistem penilaian Management pun diganti menjadi Good Corporate Governance. Sedangkan untuk komponen Asset Quality, Liquidity dan Sensitivity to Market Risk akhirnya dijadikan satu dalam komponen Risk Profile.
1.      Capital CAMELS vs Capital RGEC
Ada sedikit perbedaan antara sistem penilaian Capital pada CAMELS dan RGEC. Hal itu terkait dengan beberapa perubahan regulasi yang turut juga merubah parameter atau indikator dalam melakukan penilaian kesehatan bank antara CAMELS dan RGEC. Salah satunya terkait dengan adanya perubahan regulasi dari Basel I menjadi Basel II, dimana Basel II baru mulai dibentuk pada tahun 2004. Dampak dari adanya perubahan regulasi tersebut berkaitan dengan perhitungan rasio kecukupan modal atau CAR (Capital Adequacy Ratio) yang merupakan salah satu parameter atau indikator dari komponen Capital.
Untuk perhitungan CAR baik untuk CAMELS maupun RGEC menggunakan rumus yang sama. Tetapi yang membedakan adalah terletak pada perhitungan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko. Pada CAMELS, yang masih menggunakan regulasi Basel I, hanya memperhitungkan ATMR dengan menggunakan risiko kredit dan risiko pasar saja. Sedangkan untuk perhitungan ATMR pada RGEC, dimana regulasi Basel II sudah digunakan, selain menggunakan risiko kredit dan risiko pasar, maka ditambah dengan menggunakan risiko operasional.
2.      Asset Quality + Liquidity + Sensitifity to Market Risk = Risk Profile
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, Risk Profile yang wajib dinilai terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. Untuk penilaian Asset Quality memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko Kredit pada Risk Profile. Adapun untuk penilaian Liquidity memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko Likuiditas pada Risk Profile. Sedangkan untuk penilaian Sensitifity to Market Risk memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko Pasar pada Risk Profile.
Dalam penilaian CAMELS, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada Asset Quality, Liquidity, & Sensitifity to Market Risk buruk, maka dapat diprediksi bahwa bank tersebut akan mengalami kebangkrutan. Tetapi dalam penilaian RGEC, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada Risk Profile buruk, maka bank tersebut belum dapat diprediksi akan mengalami kebangkrutan selama parameter penanganan risiko bank itu sangat baik sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi akan terjadinya kebangkrutan.
a.      Kredit Asset Quality vs Kredit Risk Profile
Seperti halnya perbedaan Capital seperti penjelasan diatas, maka penilaian kredit pada Asset Quality dan Risk Profile pun mengalami perbedaan yang terkait dengan adanya perubahan regulasi juga yaitu adanya revisi PSAK No. 50 dan No. 55 pada tahun 2006 tentang Instrumen Keuangan. Adanya revisi tersebut mengakibatkan adanya perubahan padanan PPAP menjadi CKPN. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya PPAP sejenis dengan CKPN karena sama-sama merupakan pencadangan pada kredit. Yang membedakan adalah perlakuannya, dimana pencadangan kredit pada PPAP didasarkan pada ketentuan kolektibilitasnya sedangkan untuk pecadangan kredit pada CKPN didasarkan pada data kerugian kredit yang telah terjadi.
b.      Liquidity CAMELS vs Liquidity Risk Profile
Parameter atau indikator yang digunakan untuk memperhitungkan antara Liquidity CAMELS dengan Liquidity Risk Profile sebagian besar memiliki persamaan. Yang membedakan adalah bahwa pada parameter Liquidity CAMELS terdapat perhitungan rasio LDR (Loan Deposits Ratio) sedangkan pada parameter Liquidity Risk Profile tidak terdapat adanya perhitungan rasio tersebut.
c.       Market Risk CAMELS vs Market Risk Profile
Perbedaan yang signifikan antara Market Risk CAMELS dengan Market Risk Profile adalah adanya parameter atau indikator strategi dan kebijakan bisnis setiap masing-masing bank pada penilaian pada Market Risk Profile. Sedangkan untuk Market Risk CAMELS lebih terfokus pada penerapan sistem manajemen risiko pasar.
3.      Management CAMELS vs Good Corporate Governance RGEC
Pada Management CAMELS, selain menggunakan parameter atau indikator Good Corporate Governance pada manajemen umum, digunakan pula penerapan sistem manajemen risikonya serta kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, dimana pada komponen RGEC, kepatuhan tersebut terdapat dalam penjelasan mengenai Risiko Kepatuhan pada Risk Profile.
4.      Earnings CAMELS vs Earnings RGEC
Pada Earnings CAMELS, terdapat parameter atau indikator perhitungan BOPO (Beban Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional), sedangkan Earnings RGEC tidak ada perhitungan BOPO. Sebagai gantinya, pada Earnings RGEC terdapat parameter atau indikator Beban Operasional dibagi dengan Total Aset dan Pendapatan Operasional yang juga dibagi dengan Total Aset.

Sumber      :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar