Camels
Dalam Perbankan
Pengertian Camels
Dalam
kamus Perbankan (Institut Bankir Indonesia), edisi kedua tahun 1999: CAMEL
adalah aspek yang paling banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank,
yang mempengaruhi pula tingkat kesehatan bank, CAMEL merupakan tolok yang
menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh pengawas bank. CAMEL terdiri
atas lima criteria yaitu modal, aktiva, manajemen, pendapatan dan likuiditas.
Berdasarkan
kamus Perbankan (Institut Bankir Indonesia), edisi kedua tahun 1999, peringkat
CAMEL dibawah 81memperlihatkan kondisi keuangan yang lemah yang ditunjukan oleh
neraca bank, seperti rasio kredit tak lancar terhadap total aktiva yang
meningkat, apabila hal tersebut tidak diatasi akan mengganggu kelangsungan
usaha bank, bank yang terdaftar pada pengawasan dianggap sebagai bank
bermasalah dan diperiksa lebih sering oleh pengawas bank jika dibandingkan
dengan bank yang tidak bermasalah. Bank dengan peringkat CAMEL diatas 81 adalah
bank dengan pendapatan yang kuat dan aktiva tak lancer sedikit, peringkat CAMEL
tidak pernah diinformasikan secara luas.
Reinkarnasi Camels
Penyempurnaan
penilaian kesehatan bank dilatarbelakangi oleh Perubahan kompleksitas usaha dan
profil risiko, penerapan pengawasan secara konsolidasi, serta perubahan
pendekatan penilaian kondisi Bank yang diterapkan secara internasional
mempengaruhi pendekatan penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Secara substantif
memang ada beberapa perubahan faktor-faktor penilaian, namun dari sisi prinsip
dan proses perhitungan tingkat kesehatan, PBI nomor 13/1/PBI/2011 tersebut
tidak jauh berbeda dengan PBI Nomor 6/10/PBI/2004 . Mari kita lihat sekilas
perbandingan antara keduanya. Pertama, penilaian tetap bersifat self-assessment
oleh masing-masing bank yang dilakukan setiap semester, namun pihak BI akan
melakukan pemeriksaan sebagai langkah validasi atau konfirmasi terhadap
penilaian yang dilakukan oleh pihak bank.
Apabila
terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan hasil self assesment oleh pihak bank maka yang
berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank
Indonesia. Hasil self-assessment tersebut wajib diketahui oleh Direksi
dan dilaporkan kepada Dewan Komisaris dan BI. BI secara eksplisit tidak
mewajibkan hasil akhir penilaian kesehatan bank tersebut dipublikasikan secara
detail kepada masyarakat. Masyarakat hanya bisa melihat posisi keuangan bank
secara umum dan beberapa rasio keuangan saja, misalnya Capital Adequacy
Ratio, Efisiensi Biaya, dan Kualitas Aktiva
Produktif. Jadi jangan harap hasil penilaian lengkap untuk setiap faktor
dan komponen terungkap ke publik. Kedua, skala atau predikat penilaian
masih sama dengan sebelumnya yaitu “Peringkat 1″ sampai “Peringkat 5″
dimana urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang
lebih baik.
Sedangkan
hasil akhir penilaiannya disebut Peringkat Komposit
yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Misalnya,
Peringkat 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga
dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, sedangkan Peringkat 5 mencerminkan
kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu
menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan
faktor eksternal lainnya. Pada penilaian sebelumnya berdasarkan PBI Nomor
6/10/PBI/2004, BI telah menyediakan kerangka kerja atau lembar kerja yang
menjelaskan bagaimana menghitung dan menilai setiap indikator. Panduan tersebut
disajikan dalam bentuk matriks. Untuk PBI tahun 2011 ini, panduan dalam acuan
matriks tersebut belum disediakan oleh Bank Indonesia.
Ketiga,
versi 2011 hanya pengelompokan dan pembobotan ulang terhadap faktor atau
dimensi penilaian-yang dari segi cakupan relative tidak banyak berubah. PBI
yang baru menggolongkan faktor penilaian menjadi hanya empat faktor yaitu (1)
Profil resiko atau risk profile, (2) Good Corporate
Governance (GCG), (3) Rentabilitas atau Earnings,
dan (4) Permodalan atau Capital. Jadi PBI yang baru ini bisa
disingkat- sekedar untuk memudahkan ingatan saja, menjadi RGEC
. Profil resiko mencakup 8 jenis resiko yaitu (a) risiko kredit, (b) risiko
pasar, (c) risiko likuiditas, (d) risiko operasional, (e) risiko hukum, (f)
risiko stratejik, (g) risiko kepatuhan, dan (h) risiko reputasi. Jadi kayaknya,
beberapa indikator pada CAMELS sebelumnya, ditataulang dan dimasukkan ke faktor
baru pada RGEC. Jika dipetakan secara lengkap, faktor kualitas asset (A),
likuiditas (L), dan sensitivitas terhadap resiko pasar (S) pada pada Sistem
CAMELS melebur ke dalam faktor profil resiko (R) pada Sistem RGEC, sedangkan
faktor rentabilitas (E) dan permodalan (C) tetap ada pada sistem yang baru.
Seolah-olah ada faktor baru yaitu Good Corporate Governance (G) yang
menggantikan faktor Manajemen (M) pada sistem lama. Namun jika dicermati,
kepatuhan terhadap penerapan GCG sudah masuk pada faktor Manajemen (M) pada
sistem CAMELS yaitu dimasukkan pada komponen manajemen umum.
Dua
komponen lainnya untuk faktor Manajemen pada sistem CAMELS- yaitu Penerapan
Sistem Manajemen Resiko dan Kepatuhan Bank, sebagian besar indikatornya
diperkirakan masuk ke profil resiko pada sistem RGEC. Akhirnya tinggal GCG yang
tersisa dalam faktor Manajemen. Jadilah GCG sebagai faktor tersendiri dalam
sistem yang baru. Faktor GCG pada sistem baru pasti akan diperkaya terlebih
dahulu oleh BI dengan beberapa model, prinsip atau praktek yang terbaru sesuai
dengan perubahan atau perkembangan kondisi dan situasi terkini. Sebenarnya BI
sudah mengeluarkan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah menjadi PBI
Nomor 8/14/PBI/2006, dengan teknis pelaksanaannya tercantum pada SE Nomor
9/12/DPNP.
Analisis Camels
Analisis
CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan bank umum
di Indonesia. CAMELS merupakan kepanjangan dari Capital (C), Asset
Quality (A), Management (M), Earning (E), Liability
atau Liquidity (L), dan Sensitivity to Market Risk (S).
Analisis
CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 perihal sistem
penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/1/PBI/2007 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah. Penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia mencakup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari:
a.
Permodalan
(Capital)
Penilaian
pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan dilakukan melalui
penilaian terhadap kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku. Melalui rasio ini akan diketahui
kemampuan menyanggah aktiva bank terutama kredit yang disalurkan dengan
sejumlah modal bank (Abdullah, 2003:60).
Tabel 1. Matriks Kriteria Peringkat
Komponen Permodalan
Rasio
|
Peringkat
|
CAR ≥ 12%
|
1
|
9% ≤ CAR < 12%
|
2
|
8% ≤ CAR < 9%
|
3
|
6% < CAR < 8%
|
4
|
CAR ≤ 6%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun
2004)
b.
Kualitas
Aset (Asset Quality)
Penilaian
pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor aset bank dilakukan melalui
penilaian terhadap komponen aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan
dengan total aktiva produktif dan tingkat kecukupan pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva produktif (PPAP).
Rasio
Kualitas Aktiva Produktif merupakan rasio yang mengukur kemampuan kualitas
aktiva produktif yang dimiliki bank untuk menutup aktiva produktif yang
diklasifikasikan berupa kredit yang diberikan oleh bank. Rasio ini
mengindikasikan bahwa semakin besar rasio ini menunjukkan semakin menurun
kualitas aktiva produktif (Taswan, 2010:167).
Tabel 2 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen KAP(1)
Rasio
|
Peringkat
|
KAP1 ≤ 2
|
1
|
2 < KAP1 ≤ 3%
|
2
|
3% < KAP1 ≤ 6%
|
3
|
6 < KAP1 ≤ 9%
|
4
|
KAP1 > 9%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio
pemenuhan PPAP merupakan rasio yang mengukur kepatuhan bank dalam membentuk
PPAP untuk meminimalkan risiko akibat adanya aktiva produktif yang berpotensi
menimbulkan kerugian (Taswan, 2010:167).
Tabel 3 Matriks Kriteria Peringkat Komponen KAP(2)
Rasio
|
Peringkat
|
KAP ≥ 110%
|
1
|
105% ≤ KAP2 < 110%
|
2
|
100% ≤ KAP2 < 105%
|
3
|
95% ≤ KAP2 < 100%
|
4
|
KAP2 < 95%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
c.
Manajemen
(Management)
Penelitian
Merkusiwati (2007) menggambarkan tingkat kesehatan bank dari aspek manajemen
dengan rasio Net Profit Margin (NPM), alasannya karena seluruh kegiatan
manajemen suatu bank yang mencakup manajemen umum, manajemen risiko, dan kepatuhan
bank pada akhirnya akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba. Net
Profit Margin dihitung dengan membagi Net Income atau laba bersih
dengan Operating Income atau laba usaha.
Tabel 4 Matriks Kriteria Peringkat Komponen NPM
Rasio
|
Peringkat
|
NPM ≥ 100%
|
1
|
81% ≤ NPM < 100%
|
2
|
66% ≤ NPM < 81%
|
3
|
51% ≤ NPM < 66%
|
4
|
NPM < 51%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
d.
Profitabilitas
(Earnings)
Penilaian
pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor profitabilitas bank antara lain
dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen Return on Assets (ROA),
Return on Equity (ROE), Net Interest Margin (NIM) atau Net
Operating Margin (NOM), dan Biaya Operasional dibandingkan dengan
Pendapatan Operasional (BOPO).
ROA digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dari total
aktiva yang dimiliki (Dendawijaya, 2009:118).
Tabel 5 Matriks Kriteria Peringkat Komponen ROA
Rasio
|
Peringkat
|
ROA > 1,5%
|
1
|
1,25% < ROA ≤ 1,5%
|
2
|
0,5% < ROA ≤ 1,25%
|
3
|
0 < ROA ≤ 0,5%
|
4
|
ROA ≤ 0%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
ROE
mengindikasikan kemampuan bank dalam menghasilkan laba dengan menggunakan
ekuitasnya. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari
bank yang bersangkutan dan selanjutnya kenaikan tersebut akan menyebabkan
kenaikan harga saham bank (Dendawijaya, 2009:119)
Tabel 6 Matriks Kriteria Peringkat Komponen ROE
Rasio
|
Peringkat
|
ROE
> 15%
|
1
|
12,5%
< ROE ≤ 15%
|
2
|
5%
< ROE ≤ 12,5%
|
3
|
0
< ROE ≤ 5%
|
4
|
ROE
≤ 0%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio NIM
mengindikasikan kemampuan bank menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan
penempatan aktiva produktif (Taswan, 2009:167). Bank syariah menjalankan
kegiatan operasional bank tidak dengan sistem bunga, maka dalam penilaian rasio
NIM pada bank syariah menggunakan rasio Net Operating Margin (NOM) yang
merupakan pendapatan operasi bersih terhadap rata-rata aktiva produktif.
Tabel 7 Matriks Kriteria Peringkat Komponen NIM/NOM
Rasio
|
Peringkat
|
NIM
> 3%
|
1
|
2%
< NIM ≤ 3%
|
2
|
1,5%
< NIM ≤ 2%
|
3
|
1%
< NIM ≤ 1,5%
|
4
|
NIM
≤ 1%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
BOPO
digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi kemampuan bank dalam melakukan
kegiatan operasinya (Dendawijaya, 2009:120). Semakin tingga rasio ini
menunjukkan semakin tidak efisien biaya operasional bank.
Tabel 8. Matriks Kriteria Peringkat Komponen BOPO
Rasio
|
Peringkat
|
BOPO
≤ 94%
|
1
|
94%
< BOPO ≤ 95%
|
2
|
95%
< BOPO ≤ 96%
|
3
|
96%
< BOPO ≤ 97%
|
4
|
BOPO
> 97%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
e.
Likuiditas
(Liquidity)
Penilaian
pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas bank dilakukan melalui
penilaian terhadap komponen Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR menunjukkan
seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya (Dendawijaya, 2009:116).
Tabel 9. Matriks Kriteria Peringkat Komponen LDR
Rasio
|
Peringkat
|
LDR
≤ 75%
|
1
|
75%
< LDR ≤ 85%
|
2
|
85%
< LDR ≤ 100%
|
3
|
100%
< LDR ≤ 120%
|
4
|
LDR
> 120%
|
5
|
(Sumber:
SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
f.
Sensitivitas
terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)
Penilaian
rasio sensitivitas terhadap risiko pasar didasarkan pada Interest Rate Risk
Ratio (IRRR) yang proksi terhadap risiko pasar. IRRR menunjukkan kemampuan
bank dalam mengcover biaya bunga yang harus dikeluarkan dengan
pendapatan bunga yang dihasilkan.
Rasio Camels
Rasio CAMEL
adalah menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah
tertentu dengan jumlah yang lain. dengan analisis rasio dapat diperoleh
gambaran baik buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu bank. Manfaat Rasio
Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan Machfoedz (1994) menguji manfaat rasio
keuangan dalam memprediksi laba perusahaan dimasa yang akan datang. Rasio
keuangan yang digunakan adalah cash flows/current liabilities, net worth and
total liabilities/fixed assets, gross profit/sales, operating income/sales, net
income/sales, quick assets/inventory, operating income/total liabilities,net
worth/sales, current liabilities/net worth, dan net worth/total liabilities.
Ditemukan bahwa rasio keuangan yang digunakan dalam model bermanfaat untuk
memprediksi laba satu tahun ke muka, namun tidak bermanfaat untuk memprediksi
lebih dari satu tahun. Penelitian berkaitan dengan prediksi kebangkrutan bank
di Indonesia dilakukan oleh Wilopo (2001). Penyampelan dalam penelitian ini
dilakukan secara cluster yaitu 235 bank pada akhir tahun 1996 dibagi menjadi 16
ban terlikuidasi dan 219 bank yang tidak dilikuidasi, selanjutnya diambil 40%
sebagai sampel estimasi, terdiri atas 7 bank terlikuidasi dan 87 bank yang
tidak dilikuidasi. Kemudian dari 215 bank pada akhir tahun 1997 yang terdiri
atas 38 bank terlikuidasi dan 177 bank pada tahun 1999 yang tidak dilikuidasi,
diambil 40% sebagai sampel validasi yang terdiri atas 16 bank terlikuidasi dan
70 bank yang tidak dilikuidasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
untuk memprediksikan kebangkrutan bank adalah rasio keuangan model CAMEL (13
rasio), besaran (size) bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy
(kredit lancar dan manajemen).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat
prediksi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini tinggi (lebih
dari 50% sebagai cutoff value-nya). Tetapi jika dilihat dari tipe kesalahan
yang terjadi tampak bahwa kekuatan prediksi untuk bank yang dilikuidasi 0%
karena dari sampel bank yang dilikuidasi, semuanya diprediksikan tidak
dilikuidasi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis
yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran (size) bank serta
kepatuhan terhadap Bank Indonesia” dapat digunakan untuk memprediksikan
kegagalan bank di Indonesia. Simpulan ini diambil didasarkan atas tipe
kesalahan yang terjadi, khusus kasus di Indonesia ternyata rasio CAMEL serta
variabel-variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian ini belum
dapat memprediksikan kegagalan bank. Dengan demikian perlu eksplorasi lebih
lanjut terhadap variabel lain di luar rasio keuangan agar diperoleh model yang
lebih tepat untuk memprediksikan kegagalan bank.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Swandari (2002) berusaha untuk
menganalisa apakah tingginya perilaku risiko dari pemegang saham, kepemilikan
institusi dan kinerja mempengaruhi kebangkrutan bank. Sampel penelitian ini
terdiri dari bank yang dikategorikan fail dan bank yang sehat yang terdiri atas
25 bank yang dikategorikan fail dan 35 bank yang sehat atau survive. Dalam
penelitian ini variabel kinerja diproksikan dengan NITA (laba bersih / total
aktiva) dan FUTL (laba operasi / total kewajiban), selain itu dalam penelitian
ini juga memasukkan variabel kontrol yaitu size perusahaan dan jumlah modal.
Diprediksikan bahwa perilaku risiko berpengaruh positif terhadap kebangkrutan
bank, sedangkan porsi kepemilikan institusi dan kinerja berpengaruh negative
terhadap kebangkrutan bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Variabel
perilaku resiko memiliki tanda sesuai dengan prediksi namun secara statistic
tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam
penelitian ini ditolak. Hasil ini sejalan dengan teori agency cost of debt yang
menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan menyebabkan
manajer atau pemilik bank berperilaku lebih beresiko atas beban debtholder atau
para deposan. Dengan kata lain, pemilik akan berupaya meningkatkan nilai opsi
call dari saham yang mereka miliki.
2. Variabel
proksi kepemilikan institusi juga memiliki tanda sesuai prediksi namun secara
statistik tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam
penelitian ini ditolak..
3. Dua
variabel kinerja yang digunakan yaitu NITA dan FUTL, keduanya memberikan
dukungan terhadap hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini. Penelitian
yang dilakukan oleh Haryati (2002) berusaha untuk menganalisa:
Apakah terdapat
perbedaan bermakna kinerja keuangan yang diukur dari rasio cadangan penghapusan
kredit terhadap kredit, ROA, efisiensi dan LDR antar bank kelompok kategori A,
B dan C, dan (2) apakah rasio keuangan tersebut mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap kemungkinan kebangkrutan bank-bank kategori A, B dan C. Hasil
dari penelitian ini adalah empat rasio keuangan yang digunakan ternyata rasio
ROA, Efisiensi dan LDR mempunyai perbedaan yang signifikan di antara bank-bank
dalam kategori A, B dan C. Adapun rasio Cadangan Penghapusan Kredit terhadap
Kredit tidak mempunyai perbedaan bermakna mengingat pengukuran rasio ini untuk
menilai kualitas asset dari bank kurang tepat (tidak sesuai dengan pengukuran
sebagaimana telah ditentukan oleh Bank Indonesia).
Analisis Kesehatan Bank : CAMELS vs RGEC
Penggunaan rasio keuangan yang mempunyai perbedaan signifikan dalam model
logistic regression untuk menguji prediksi kebangkrutan bank-bank dalam
kategori bangkrut adalah akurat yang ditunjukkan dengan tingkat kemaknaan
0,00%. Dari ketiga rasio ROA, Efisiensi dan LDR hanya rasio ROA yang mempunyai
pengaruh bermakna terhadap kemungkinan kebangkrutan bank. Etty M. Nasser dan
Titik Aryati (2000) menyimpulkan bahwa dengan uji univariate ada dua jenis
rasio yang signifikan yang membedakan bank sehat dan bank gagal yaitu rasio
EATAR dan OPM. Untuk rasio keuangan yang dominan mempengaruhi kegagalan dan
keberhasilan bank adalah EATAR dan PBTA melalui analisis Stepwise Statistic,
dan dengan analisis Casewise Statistic dapat diketahui tingkat keberhasilan
keseluruhan dari fungsi diskriminan dan untuk peramalan empat tahun sebelum
bangkrut adalah 67,6 %.
Penelitian ini menggunakan bank go public sebagai sampel. Variabel bebas
yang digunakan adalah beberapa rasio-rasio keuangan model CAMEL yaitu CAR1,
CAR2, ETA, RORA, ALR, NPM, OPM, ROA, ROE, BOPO, PBTA, EATAR, dan LDR. Sedangkan
yang menjadi variabel terikat adalah Financial Distress dengan dua alternatif
yaitu bank sehat dan bank gagal. Secara empiris tingkat kegagalan bisnis dan
kebangkrutan bank dengan menggunakan rasio-rasio keuangan model CAMEL dapat
dibuktikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu :
Thomson (1991) dalam Wilopo (2001) yang menguji manfaat rasio keuangan CAMEL
dalam memprediksi kegagalan bank di USA pada tahun 1980an dengan menggunakan
alat statistik regresi logit, Whalen dan Thomson (1988) dalam Wilopo (2001)
menemukan bahwa rasio keuangan CAMEL cukup akurat dalam menyusun rating bank,
dan di Indonesia Surifah (1999) menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi
kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL.
Dulu kita mengenal dengan adanya Analisis Kesehatan Bank dengan
menggunakan sistem penilaian CAMELS (Capital, Asset quality, Management, Earnings,
Liquidity & Sensitivity to market risk) berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004. Sekarang, menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/24/PBI/2011, maka sistem penilaian analisis kesehatan bank pun diubah dari
CAMELS menjadi RGEC (Risk profile, Good corporate governance, Earnings, &
Capital).
Sebenarnya sistem penilaian kesehatan bank antara CAMELS tidak berbeda
jauh dengan RGEC. Beberapa bagian tampak masih sama seperti masih digunakannya
sistem penilaian Capital dan Earnings. Adapun sistem penilaian Management pun
diganti menjadi Good Corporate Governance. Sedangkan untuk komponen Asset
Quality, Liquidity dan Sensitivity to Market Risk akhirnya dijadikan satu dalam
komponen Risk Profile.
1.
Capital CAMELS vs Capital RGEC
Ada sedikit perbedaan antara sistem penilaian Capital pada CAMELS dan
RGEC. Hal itu terkait dengan beberapa perubahan regulasi yang turut juga
merubah parameter atau indikator dalam melakukan penilaian kesehatan bank
antara CAMELS dan RGEC. Salah satunya terkait dengan adanya perubahan regulasi
dari Basel I menjadi Basel II, dimana Basel II baru mulai dibentuk pada tahun
2004. Dampak dari adanya perubahan regulasi tersebut berkaitan dengan
perhitungan rasio kecukupan modal atau CAR (Capital Adequacy Ratio) yang
merupakan salah satu parameter atau indikator dari komponen Capital.
Untuk perhitungan CAR baik untuk CAMELS maupun RGEC menggunakan rumus
yang sama. Tetapi yang membedakan adalah terletak pada perhitungan ATMR (Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko. Pada CAMELS, yang masih menggunakan regulasi Basel
I, hanya memperhitungkan ATMR dengan menggunakan risiko kredit dan risiko pasar
saja. Sedangkan untuk perhitungan ATMR pada RGEC, dimana regulasi Basel II
sudah digunakan, selain menggunakan risiko kredit dan risiko pasar, maka ditambah
dengan menggunakan risiko operasional.
2.
Asset Quality + Liquidity + Sensitifity to
Market Risk = Risk Profile
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, Risk Profile yang
wajib dinilai terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional,
Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risko Kepatuhan, dan Risiko
Reputasi. Untuk penilaian Asset Quality memiliki kesamaan dalam penilaian
Risiko Kredit pada Risk Profile. Adapun untuk penilaian Liquidity memiliki
kesamaan dalam penilaian Risiko Likuiditas pada Risk Profile. Sedangkan untuk
penilaian Sensitifity to Market Risk memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko
Pasar pada Risk Profile.
Dalam penilaian CAMELS, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter
atau indikator pada Asset Quality, Liquidity, & Sensitifity to Market Risk
buruk, maka dapat diprediksi bahwa bank tersebut akan mengalami kebangkrutan.
Tetapi dalam penilaian RGEC, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter
atau indikator pada Risk Profile buruk, maka bank tersebut belum dapat
diprediksi akan mengalami kebangkrutan selama parameter penanganan risiko bank
itu sangat baik sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi akan terjadinya
kebangkrutan.
a.
Kredit Asset Quality vs Kredit Risk Profile
Seperti halnya perbedaan Capital seperti penjelasan diatas, maka
penilaian kredit pada Asset Quality dan Risk Profile pun mengalami perbedaan
yang terkait dengan adanya perubahan regulasi juga yaitu adanya revisi PSAK No.
50 dan No. 55 pada tahun 2006 tentang Instrumen Keuangan. Adanya revisi
tersebut mengakibatkan adanya perubahan padanan PPAP menjadi CKPN. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya PPAP sejenis dengan CKPN karena sama-sama
merupakan pencadangan pada kredit. Yang membedakan adalah perlakuannya, dimana
pencadangan kredit pada PPAP didasarkan pada ketentuan kolektibilitasnya
sedangkan untuk pecadangan kredit pada CKPN didasarkan pada data kerugian
kredit yang telah terjadi.
b.
Liquidity CAMELS vs Liquidity Risk Profile
Parameter atau indikator yang digunakan untuk memperhitungkan antara
Liquidity CAMELS dengan Liquidity Risk Profile sebagian besar memiliki
persamaan. Yang membedakan adalah bahwa pada parameter Liquidity CAMELS
terdapat perhitungan rasio LDR (Loan Deposits Ratio) sedangkan pada parameter
Liquidity Risk Profile tidak terdapat adanya perhitungan rasio tersebut.
c.
Market Risk CAMELS vs Market Risk Profile
Perbedaan yang signifikan antara Market Risk CAMELS dengan Market Risk
Profile adalah adanya parameter atau indikator strategi dan kebijakan bisnis
setiap masing-masing bank pada penilaian pada Market Risk Profile. Sedangkan
untuk Market Risk CAMELS lebih terfokus pada penerapan sistem manajemen risiko
pasar.
3.
Management CAMELS vs Good Corporate
Governance RGEC
Pada Management CAMELS, selain menggunakan parameter atau indikator Good
Corporate Governance pada manajemen umum, digunakan pula penerapan sistem
manajemen risikonya serta kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan yang
berlaku, dimana pada komponen RGEC, kepatuhan tersebut terdapat dalam
penjelasan mengenai Risiko Kepatuhan pada Risk Profile.
4.
Earnings CAMELS vs Earnings RGEC
Pada Earnings CAMELS, terdapat parameter atau indikator perhitungan BOPO
(Beban Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional), sedangkan Earnings
RGEC tidak ada perhitungan BOPO. Sebagai gantinya, pada Earnings RGEC terdapat
parameter atau indikator Beban Operasional dibagi dengan Total Aset dan
Pendapatan Operasional yang juga dibagi dengan Total Aset.
Sumber :